PDM Kabupaten Pemalang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Pemalang
.: Home > Artikel

Homepage

TA’AWUN UNTUK NEGERI - PIDATO MILAD 106 TAHUN MUHAMMADIYAH

.: Home > Artikel > PDM
19 November 2018 22:21 WIB
Dibaca: 1313
Penulis : Dr. H. Haedar Nashir , M.Si.

 

 

TA’AWUN UNTUK NEGERI

PIDATO MILAD 106 TAHUN MUHAMMADIYAH

 

18 November 1912 - 18 November 2018

Puro Mangkunegaran Solo,18 November 2018

 

Oleh: Dr. H. Haedar Nashir , M.Si.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

 

Alhamdulillah Muhammadiyah menyelenggarakan resepsi Milad ke-106 tanggal 18 November 2018 ini bertempat di Puro Mangkunegaran Surakarta yang bernuansa kearifan Islam kultural. Kraton yang bersejarah ini di masa lalu menginspirasi Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan“Padvinders”, yakni Gerakan Kepanduan “Hizbul Wathan” tahun 1918. Pendiri Muhammadiyah itu melalui Hizbul Wathan mendidik generasi muslim untuk cinta dan bela tanah air Indonesia. Dari organisasi kepanduan Islam tertua ini lahir seorang Soedirman muda yang menjadi pemimpin Perang Gerilya, Bapak Tentara Nasional Indonesia, dan Pahlawan Nasional. Dalam momentum Milad tahun 2018 ini Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara khusus menganugerahkan MUHAMMADIYAH AWWARD kepada DR (HC) DRS H MUHAMMAD JUSUF KALLA sebagai wujud penghargaan tertinggi atas dedikasinya dalam bidang Perdamaian Dan Kemanusiaan. Dr (HC) Drs H Muhammad Jusuf Kalla telah menggoreskan sejumlah kepeloporan dan kiprah nyata dalam merekat integrasi nasional untuk tegaknya perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana dilakukan di Aceh, Poso, dan Ambon yang sangat berarti bagi keutuhan dan persatuan Indonesia. Tokoh nasional yang dua periode menjadi Wakil Prsiden Republik Indonesia tersebut juga dikenal sebagai saudagar muslim yang tangguh dan banyak berjasa bagi kepentingan merekat ukhuwah dan kemajuan umat Islam.

 

MILAD MUHAMMADIYAH ke-106 tahun 2018 ini mengangkat tema “Ta’awun Untuk Negeri”. Melalui tema tersebut Muhammadiyah membawa pesan utama kepada seluruh komponen bangsa termasuk pemerintahdan kekuatan politik nasional agar secara kolektif-kolegial mengerahkan segala daya dalam menggelorakan semangat, pemikiran, dan tindakan-tindakan nyata untuk “Saling menolong dan bekerjasama” demi kebaikan, kemaslahatan, serta kemajuan bangsa dan negara Indonesia tercinta.

 

Menggelorakan “Ta’awunUntuk Negeri” berarti menyuarakan pesan keruhanian Islam dalam mengembangkan sikap saling tolong-menolong atau bekerjasama untuk terwujudnya kebaikan serta kemaslahatan bangsa dan negara Indonesia. Sebaliknya mencegah segala bentuk “kerjasama” (konspirasi) dalam hal dosa dan keburukan sebagaimana pesan Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Ma’idah ayat kedua:

 

Artinya : “.... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al-Mâidah/5:2).

 

 

Ajaran Ta’awun Islam menjunjung tinggi nilai “ta’awun”, yakni tolongmenolong antar sesama manusia —termasuk di dalamnya kerjasama, toleransi, kebersamaan, serta segala kebajikan— yang membawa pada kemaslahatan hidup bersama. Sebaliknya Islam mengajarkan umatnya agar menjauhkan diri dari “kerjasama” (persekongkolan) yang membawa pada keburukan dan kemudharatan dalam kehidupan bersama. Ajaran “ta’awun” secara khusus termaktub dalam Surat Al-Maidah ayat ke-2 sebagai berikut:

 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-yu (hewan-hewan kurban) dan qalaa-id (hewan kurban yang diberi tanda) danjangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah: 2).

 

Surat Al-Maidah ayat kedua yang di dalamnya temaktub ajaran “ta’awun”, dalam sejumlah tafsir turun terkait dengan situasi ketegangan antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy di sekitar rentang waktu dan peristiwa perjanjian Hudaibiyah. Menurut Ibnu Katsir, bersumber dari penuturan Said bin Aslam, bahwa Rasulullah SAW bersama para sahabat berada di Hudaibiyah ketika orang-orang musyrik Makkah menghalanginya menuju Baitullah di mana hal itu dirasakan kaum muslimin berat sekali. Suatu ketika sekelompok orang musyrik dari wilayah timur hendak pergi umrah ke Baitullah sesuai kepercayaan mereka kala itu, sebagian sahabat berniat menghalangi mereka sebagai bentuk pembalasan. Dalam konteks itulah Allah menurunkan ayat ke-2 pada Surat Al-Maidah tersebut.Sebagaimana kupasan tafsir pada umumnya, terdapat versi lain seputar sabab nuzul ayat tersebut.

 

Ibnu Katsir mengaitkan ayat ini dengan hadis Nabi yang bunyinya “unshur akhaka dhaliman aw madhluman”, artinya “Tolonglah sadaramu yang menganiaya dan yang dianiaya” [HR Imam Ahmad (11538) dari Anas bin Malik]. Ketika Nabi ditanya kenapa harus menolong orang yang menganiaya? Rasul menjawab, yang artinya “Engkau larang dia agar tidak berbuat aniaya, begitulah cara kamu menolongnya”. Betapa tegas tapi moderat cara Rasulullah mengajarkan misi dakwah, bahwa dalam menghadapi pihak musuh sekalipun senantiasa dimiliki jiwa dan sikap dasar kebajikan. Dalam bernahi-munkar pun harus ditunaikan dengan cara yang ma’ruf atau baik, bahwa keburukan jangan dibalas dengan keburukan yang serupa.

 

Dalam kisah lain menurut Imam Ahmad dari AlA’masyi, dari Yahya bin Watsab, dari salah seorang sahabat Nabi, dia berkata yang artinya: “Orang-orang mukmin yang berbaur dengan manusia dan bersabar terhadap cercaan mereka itu lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak berbaur dan tidak sabar terhadap cercaan mereka”. Senada dengan itu menurut riwayat Al-Hafidz Abu Bakar Al-Bazzar dari Abdullah, bahwa Nabi bersabda yang artinya, “Orang yang menunjukkan pada kebaikan sama seperti orang yang melakukannya”. Siapapun muslim harus menyebarluaskan kebaikan serta memperluas horizoninteraksi dan kerjasama secara terbuka melintasi batas-batas primordialisme.

 

Betapa inklusif ajaran ta’awun dari Rasulullah bagi umat Islam. Pada frasa sebelumnya, ajaran “ta’awun” berurutan dengan kalimat “wa laa yajrimannakum syanaanu qaumin an shodduukum ‘anil masjidil haraam an ta’taduu” (artinya: “Jangan sampai kebencian (mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat aniaya atau melampaui batas (kepada mereka)” (QS Al-Maidah: 2). Frasa ini mengajarkan sikap adil meskipun kepada pihak musuh atau yang memusuhi umat Islam, suatu ajaran yang sangat luhur sebagai landasan ruhani dan moral dalam ber-habluminannasdengan sesama.

 

Spirit ta’awun dalam Islam paralel dengan ajaran ihsan, yang mengandung makna bahwa karena dekatnya seorang muslim dengan Allah Yang Maha Rahman dan Rahim maka dirinya menjadi sosok yang shaleh dan welas asih secara melintasi untuk berbuat segala kebaikan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Termasuk kepada yang berbeda agama dan golongan, bahkan terhadap kaum kafir dan pihak yang memusuhi. Sebaliknya menjauhi atau tidak boleh berbuat dan bekerjasama dalam hal segala keburukan dengan dalih apapun kepada siapapun. Semua disertai keseimbangan atau sikap tengahan (wasathiyah), manakala dengan pihak yang berbeda agama dan golongan mampu bekerjasamasecara baik, tentu dengan sesama seiman dan seagama dapat berhubungan dan bekerjasama dengan sebaik-baiknya.

 

Dalam Muhammadiyah ajaran ta’awun sejiwa dan seiring dengan spirit Al-Ma’un sebagaimana menjadi salah satu ciri gerakan Islam ini sejak diririkannya oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan 106 tahun yang silam. Bahwa setiap muslim yang menganut Islam dia harus mewujudkan agamanya dalam membela dan memberdayakan kaum miskin, yatim, serta dhu’afa (kaum lemah) dan mustadh’afin (kaum tertindas, teraniaya). Sebaliknya termasuk dusta dalam beragama manakala dirinya tidak mau menolong kaum yang lemah dan dilemahkan. Apalah artinya beragama manakala tidak peduli dan tidak mau berbagi untuk mereka yang bernasib malang dalam kehidupannya.

 

Ajaran Al-Ma’un dalam Muhammadiyah telah menjadi gerakan praksis sosial Islam yang bersifat membebaskan (emansipasi, liberasi), memberdayakan (empowerment), dan memajukan kehidupan umat dan bangsa. Gerakan Al-Ma’un bahkan secara kelembagaan melahirkan rumah sakit, klinik, pelayanan sosial, tanggap kebencanaan, pemberdayaan masyarakat, dan praksis Lazismu untuk seluruh anak negeri. Praksis Al-Ma’un saat ini pun melahirkan aksi kemanusiaan (humanitarian) untuk semua golongan umat manusia baik di dalam maupun di luar negeri dalam gerakan “Muhammadiyah For All” atau “Muhammadiyah Untuk Semua”. Suatu ajaran “ta’awun” yang membebaskan,memberdayakan, dan memajukan kehidupan.

 

Islam sejatinya mengandung elemen ajaran yang membebaskan dalam makna mengeluarkan umat manusia dari keadaan buruk ke keadaan yang lebih baik. Inilah praksis sosial Islam yang oleh Asghar Ali Engineer disebut sebagai teologi pembebebasan dalam Islam (The Islamic Theology of Liberation). Menurut Aghar, ajaran Islam sejati menjunjukkan komitmen tinggi pada terciptanya tananan sosial yang adil, egaliter, dan nireksploitasi. Dinyatakan, tidak dapat disebut masyarakat muslim (Islamic society) manakala di dalamnya masih terdapat eksploitasi satu terhadap lainnya. Karenanya Islam hadir dengan pandangan dan praktik sosial yang membebaskan kehidupan. Bahkan kalimat “Laa Ilaaha Illa Allah” menurut pemikir Islam posmodern ini dapat menjadi kekuatan pembebas bagi kaum lemah sekaligus membongkar sistem apapun yang otoritarian!

 

 

Konteks Kebangsaan

 

Pesan “Ta’awun Untuk Negeri” kami gelorakan ke seluruh persada tanah air setidaknya sebagai respons dan komitmen Muhammadiyah atas dua situasi yang dihadapi bangsa saat ini. Pertama, adanya musibah gempa bumi di Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat, serta di Palu-Donggala-Sigi di Sulawesi Tengah, di samping musibah lainnya di negeri ini. Pesan utamanya agarsemua tergerak untuk peduli dan berbagi meringankan beban saudara sebangsa atas musibah yang terjadi, seraya bergerak bersama agar saudara-saudara kita di dua wilayah musibah itu bangkit dan kembali menjalani kehidupan dengan baik dan lebih maju.

 

Kedua, situasi nasional di tahun politik yang sedikit atau banyak menunjukkan ananiyah-hizbiyah (egoisme kelompok) dan gesekan sosial-politik satu sama lain. Kontestasi politik memang wajar dengan dinamika persaingan dan perebutan kepentingan. Namun manakala tidak terkelola dengan baik dan dibiarkan serbabebas maka dapat memicu konflik dan retak sosial antarsesama anak bangsa secara saling berhadapan dan bermusuhan. Karenanya penting dilandasi nilai “ta’awun” untuk “saling peduli dan berbagi” layaknya satu tubuh di keluarga bangsa. Perbedaan politik tetap diikat oleh rasa bersaudara dan tidak menyuburkan suasana permusuhan yang meeugikan kehidupan berbangsa.

 

Gerakan “Ta’awun Untuk Negeri” dapat diaktualisasikan dalam gerakan membangun kebersamaan dengan jiwa tulus semata-mata untuk memajukan kehidupan bangsa. Umat Islam menyebut semangat kebersamaan itu dengan ukhuwah, sedang dalam idiom umum dikenal gotongroyong untuk kebaikan hidup bersama. Semangat ukhuwah dan gotong-royong itu niscaya terus disebarluaskan agar menjadi praktik hidup yang nyata dan bukan retorika. Ukurannya ialah ketika terdapat perbedaan pandangandan kepentingan, satu sama lain mau saling berkorban dan berbagi, bukan saling mengutamakan kepentingan dan mau menang sendiri.

 

Wujudkan ta’awun sesama warga dan komponen bangsa dengan sikap, tindakan, dan usaha bekerjasama secara nyata. Semua pihak mau saling peduli dan berbagi, serta saling hidup maju dan makmur bersama-sama. Dalam kehidupan kebangsaan jangan sampai perebutan kekuasaan menyuburkan egoisme kelompok secara ekslusif dan berlebihan, yang menggerus kebersamaan. Jangan sampai terjadi parasoks, di ruang publik menyuarakan ukhuwah dan gotong royong, tetapi dalam praktik menampilkan sikap ajimumpung, mau menang sendiri, dan kebiasaan menyisihkan pihak lain yang berbeda pandangan atau golongan demi kejayaan diri atau golongan sendiri dalam hasrat kuasa berlebih.

 

Gerakan “Ta’awun Untuk Negeri” juga menggelorakan gerakan pemberdayaan untuk mengangkat harkat umat dan warga yang lemah menuju kehidupan “khaira ummah” yang berkecukupan. Jika satu prosen penduduk negeri ini menguasai mayoritas kekayaan Indonesia, maka inilah sumber utama kesenjangan sosial-ekonomi, yang harus dipotong matarantainya secara sistemik. Kesenjangan sosial jangan dibiarkan seolah wajar hanya karena tidak ingin menempuh langkah drastis dalam menghadapinya, sebab rakyat dan negaralah yang dirugikan. Di negeri ini tidakboleh para mafia dan tangan-tangan perkasa dibiarkan menguasai Indonesia untuk meraih kejayaan sendiri dengan mengorbankan kepentingan kolektif bangsa dan negara.

 

Konstitusi pasal 33 UUD 1945 memerintahkan: “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Negara berkewajiban hadir untuk mewujudkan perintah konstitusi tersebut sebagai usaha menjalankan apa yang oleh Bung Hatta sebagai “ekonomi terpimpin”.

 

Gerakan “Ta’awun Untuk Negeri“ juga dapat dijadikan wahana mengembangkan dialog kolektif antarsesama komponen bangsa atas persoalan-persoalan bangsa. Ketika masalah radikalisme, terorisme, kekerasan, intoleransi, dan masalah-masalah lainnya mnjadi agenda krusial di tubuh bangsa Indonesia maka kembangkan dialog-dialog yang cerdas, bijaksana, dan menempuh jalan musyawarah untuk pemecahannya. Jangan jadikan masalah-masalah tersebutsebagsi proyek dan komoditi karena akan kehilangan objektivitas dalam menyusun format pemikiran dan strategi penyelesaian masalah secara sistemik dan menyeluruh, bukan penyelesaian masalah secara instan dan parsial.

 

Jika masalah radikalisme, terorisme, intoleransi, dan segala bentuk ancaman terhadap keIndonesiaan dipandang sebagai agenda serius, maka seyogyanya dicandra secara objektif dan komprehensif agar tidak bersifat parsial, tendensius, dan gagal paham. Perlu rekonstruksi konsep, pemikiran, dan parameter yang dapat didialogkan dan dirumuskan secara kolektif tentang masalah-masalah krusial kebangsaan tersebut supaya terhindar dari tendensi yang sepihak, hitam-putih, dan hanya ditujukan pada satu aspek dan golongan. Sikap terbuka untuk mendialogkan secara nasional masalah-masalah krusial tersebut sungguh diperlukan agar strategi dan peta-jalan dalam pemecahannya benar-benar komprehensif demi masa depan Indonesia. Di sinilah pentingnya “ta’awun pemikiran” antara pemerintah dan seluruh komponen bangsa dalam dialog dan konsensus nasional baru. Pemerintah dan semua komponen bangsa sangat bijak manakala mau duduk bersama mendialogkan kembali secara jernih dan terbuka mengenai masalah radikalisme, terorisme, toleransi, kebinekaan, dan isu-isu strategis kebangsaan dengan mengembangkan pemikiran dan pendekatan multiperspektif agar dihasilkan strategi pemecahan yang menyeluruh demi masa depan Indonesia.

 

Gerakan “Ta’awun Untuk Negeri” menyentuh sikap cinta dan bela negara. Semua komponen dan warga bangsa pada dasarnya memiliki komitmen mencintai dan membela kepentingan bangsa dan negara. Tetapi ekspresi dan aktualisasinya beragam sehingga tidak terperangkap pada pikiran dan tindakan yang berlebihan. Karenanya di satu pihak tidak dibenarkan ada kecenderungan warga bangsa yang melakukan politisasi dan klaim “cinta dan bela Indonesia” secara sepihak seakan paling Indonesia. Sebaliknya tidak boleh pula ada kelompok lain yang alergi dan mati-rasa keindonesiaan sehingga kurang menunjukkan sikap melu handarbeni, yakni merasa ikut memiliki atau sense of belonging terhadap NKRI, apalagi sampai berideologi dan mencita-citakan sistem ketatanegaraan lain yang bertengangan dengan Pancssila dan UUD 1945. Bagi Muhammadiyah sangatlah tegas, bahwa Negara Pancasila adalah Darul Ahdi Wa Sayahadah, suatu negara hasil konsensus nasional seluruh kekuatan bangsa yang dasar dan sistemnya tidak boleh diubah, namun pada saat yang sama harus dibangun sesuai dengan jiwa, pikiran, dan cita-cita luhur yang diletakkan oleh para pejuang dan pendiri bangsa sehingga tidak menjadi Indonesia yang salah-arah dan salah-kaprah.

 

Pada situasi dialektika orientasi keindonesiaan yang saling bertentangan satu sama lain itulah pentingnya “jiwa ta’awun kebangsaan” untuk menanamkan orientasi moral, spiritual, rasional, dan profesional dalam semangatkebersamaan “bekerjasama dalam kebajikan dan taqwa, serta bekerjsama dalam dosa dan pelanggaran” untuk kemaslahatan dan kemajuan Indonesia. Kita ingat perdebatan cerdas dan berwawasan kenegarawanan antara Ki Bagus Hadikusumo dan Soekarno dalam sidang “Badan Untuk Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan” (BPUPK) tahun 1945. Ki Bagus Hadikusumo, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, pada tanggal 31 Mei 1945, dalam akhir pidatonya menyatakan: “...Saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia juga yang asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang Muslim, yang mempunyai cita-cita Indonesia-Raya dan Merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya pun mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia ini berdasarkan agama Islam”.

 

Sementara itu Soekarno ketika pidato 1 Juni 1945 menyampaikan paham kebangsaan yang luas dan tidak sempit yang kemudian terangkum antara lain dalam gagasan Pancasila. Soekarno yang juga menjadi anggota dan pernah sebagai pengurus Majelis Pendidikan Muhammadiyah di Bengkulu tahun 1930an itu, dengan lantang menyatakan, “...Sayapun, adalah orang Islam....keislaman saya jauh belum sempurna, —tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.”. Dialogintelektual di BPUPK itu di kemudian hari menghasilkan “Gentlement’s Agreement” pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945 untuk kemudian mencapai titik kompromi lagi dalam Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada Pancasila yang ditetapkan dalam Konstitusi Dasar UUD 1945 yang disepakati pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Itulah mozaik “Ta’awun untuk Negeri” dalam bingkai kearifan politik kenegarawanan yang cerdas dan bijak dari para pendri bangsa yang mesti diteladani oleh generasi elite dan warga bangsa Indonesia saat ini.

 

Spirit ta’awun dalam wujud jiwa, pikiran, sikap, dan tindakan kebersamaan yang berwawasan kenegarawanan itu mesti diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara kolektif dan sistemik di Indonesia saat ini. Ta’awun atau kebersamaan yang sejati dapat menjadi faktor kekuatan bagi kesatuan, keutuhan, dan kemajuan Indonesia. Sebagaimana pesan Bung Karno ketika berpidato pada 1 Juni 1945, bahwa: “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”. Itulah mozaik ta’awun atau spirit kebersamaan yang diletakkan dengan kokoh oleh para pejuang dan pendiri bangsa secara autentik menuju Indonesia yang dicita-citakan, yang dalam perspektif Muhammadiyah disebut Indonesia Berkemajuan. Yakni Indonesia yang maju, adil, makmur, berdaulat, danbermartabat yang menjelma sebabai Negara Pancasila yang modern dan berperadaban utama!

 

Karenanya Muhammadiyah dalam usianya yang ke-106 tahun 2018 Miladiah atau usia ke-109 tahun 1349 hijriyah, tetap istiqamah di atas Kepribadian dan Khittahnya untuk senantiasa bekerjasama dengan pemerintah dan seluruh komponen bangsa dalam misi Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid demi terwujudnya kemajuan Indonesia. Dengan “Ta’awun Untuk Negeri” dalam bingkai spirit “bekerjasama dalam kebaikan dan taqwa, serta tidak akan bekerjasama dalam dosa dan pelanggaran atau permusuhan”, Muhammadiyah terus berkiprah mencerahkan bangsa ke seluruh persada negeri guna mewujudkan Indonesia Berkemajuan menjadi milik bersama.

 

Semoga Allah melimpahkan berkah, rahmat, dan karunia-Nya untuk bangsa Indonesia, sehingga negeri tercinta ini menjadi Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur. Nashrun minallah wa fathun qarib.

 


Tags: TA’AWUNUNTUKNEGERI , PIDATOMILAD106TAHUNMUHAMMADIYAH , Dr.H.HaedarNashir , M.Si.

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website